Kamis, 29 Maret 2012

"Lestarikan Budaya Suku Tolaki"

Prosesi adat perkawinan selalu menarik perhatian untuk disaksikan. Salah satunya adalah adat perkawinan suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, yang diberi nama Mowindahako.
Tarian Mondotambe menyambut rombongan mempelai pria sebelum masuk ke kediaman mempelai wanita. Tarian itu adalah tarian penyambutan bagi tamu kehormatan.
Setelah melewati prosesi tarian Mondotambe, pihak mempelai pria membuka sebuah bentangan sarung. Sarung itu baru bisa dibuka setelah perwalian mempelai pria memberikan imbalan kepada pihak wanita.
Prosesi pernikahan atau Mowindahako pun dimulai dengan disiapkannya Salopa atau persembahan adat tambahan, seperti tempat sirih, pinang, tembakau dan beberapa sajian lain.
Ijab kabul pun masuk dalam prosesi pernikahan ini. Rangkaian prosesi selesai saat mempelai pria melakukan pembatalan wudhu. Akhir pesta ditutup dengan tari Lulo. Kedua mempelai dan undangan saling berpegangan tangan untuk mempererat tali persaudaraan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, adat Mowindahako mulai ditinggalkan. Bahkan ada beberapa prosesi yang diganti, namun memiliki makna yang sama.


Sumber : Berita Lintas  http://News.mnctv.com

Selasa, 20 Maret 2012

Kota Lama Tempo Doe loe

Asal Foto : Kendari Over 1928 ( Drs M.Farid Thayeb )
Onia ( Rakit ) Alat Transportasi Tradisional
Koleksi Miseum
Asal Foto : Kendari Over 1928 ( Drs M.Farid Thayeb )

Sabtu, 17 Maret 2012

Pertunangan Dalam Adat Masyarakat Tolaki


Dalam perjalanan anak manusia di muka bumi, tatanan kehidupan masa lalu sepatutnya senantiasa menjadi pegangan yang akan menuntun pada tetap terpeliharanya tataran budaya yang mengakar turun termurun sejak jaman nenek moyang yang mendiami berbagai daerah yang ada di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara. Dalam mengemban kehidupan untuk beranak pinak dari satu generasi ke genarasi, tahap demi tahap kegiatan dijalani sebagai suatu nilai sakral yang tidak boleh dilewatkan begitu saja seperti dalam adat masyarakat Tolaki.

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Suku ini mendiami daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan konawe. Suku Tolaki adalah salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna. Asal kata Tolaki, dipercaya berasal dari TO=orang atau manusia, Laki= Jenis kelamin laki-laki, dan Tolaki sering dimaknai sebagai manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.

Dalam interaksi sosial, kehidupan bermasyarakat suku Tolaki terdapat nilai-nilai luhur yang dituangkan dalam keseharian mereka dan menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, adapun falsafah kebudayaan masyarakat Tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
1. Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat)
2. Budaya Kohanu (budaya malu)
3. Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan)

Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan adanya hubungan yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan dalam menentukan arahan bagi masa depan kedua mempelai nantinya. Sebagai buktinya, nilai mahar yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan pada saat pertunangan dan perkawinan merupakan buah dari kesepakatan yang telah terlebih dahulu dirundingkan. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebagai bagain dari prosesi pertunangan.

Sebelum sampai pada masa perkawinan/pernikahan yang dalam adat masyarakt Tolaki disebut prosesi Mowindahako, terlebih dahulu dijalani berbagai prosesi, yang salah satu bagian terpenting adalah tahap pertunangan. Pertunangan yang berlaku di masing-masing daerah di Nusantara tentu saja memiliki keunikan tersendiri beserta tata cara yang beragam. Nilai keanekaragaman inilah yang senantiasa menambah kekhasan adat budaya yang ada di Indonesia.

Pada eksistensinya pertunangan pada adat masayarakat Tolaki, berlaku sejak lamaran diterima. Pada umunya pertunangan terjadi karena anak perempuan yang dimaksud belum dewasa, sehingga harus menunggu hingga dewasa. Itulah kenapa bagi masyarakat Tolaki mengenal dan kadang melaksanakan prosesi pertunangan untuk menunggu sampai salah satunya benar-benar dewasa.

Dalam adat masayarakat Tolaki pertunangan merupakan waktu dimana proses pembelajaran dan pelatihan bagi mempelai pria agar memiliki sikap kedewasaan adalah bagian yang benar-benar diutamakan, berbagai hal yang menyangkut kehidupan berkeluarga diberikan sebagai pembekalan supaya saat memasuki kehidupan keluarga baru nantinya, keduanya sudah benar-benar dewasa dalam menghadapi berbagai masalah dan lika-liku kehidupan berkeluarga. Jadi, masa pertunangan bagi calon suami perempuan merupakan kewajiban sebagai proses pembelajaran untuk dapat memeberikan nafkah lahiriah seperti makan dan lain-lain, sehingga mengabdi kepada orang tua perempuan selama masa pertunangan merupakan keharusan tersendiri agar dapat dinilai langsung oleh pihak perempuan sebelum menyerahkan anak gadis mereka. Salah satu contohnya dengan ikut bersama-sama membuka lahan pertanian atau pekebunan dimana proses pembelajaran dalam tahap pertunangan bagi calon mempelai pria akan berlangsung hingga setelah panen.

Masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal.Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi.

Model pertunangan pada adat masyarakat Tolaki sedikitnya memiliki kemirifan dengan model pertunangan yang terdapat pada adat pertunangan suku muli yaitu adat paniwih. Perbedaannya adalah saat pertungan pada adat Tolaki ketika sudah cukup waktunya untuk menikah yang dikatakan oleh pihak perempuan, dengan kriteria sudah cukup dewasa bagi keduanya dan cukup beras untuk pesta makan, maka pernikahan akan segera dilaksanakan, hal ini dapat juga kita kaitkan dengan ungkapan klasik dari masrakat Tolaki yang mempunyai pandangan “bahwa lebih mudah menjaga 40 ekor kerbau daripada menjaga seorang anak gadis”. Tentunya ini merupakan hal yang telah diatur sedemikian rupa, disamping mengindahkan ungkapan tersebut.

Dalam menyelenggarakan prosesi pernikahan/perkawinan pada umumnya dapat dipercepat. Namun, diperlukan kesiapan pihak laki-laki dimana pihak perempuan akan memberikan kesempatan seluas-luanya untuk mempersiapkan persyaratan ataupun hasil kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya baik berkenaan dengan nilai mahar maupun penyelenggaraan pesta. Akan tetapi, syarat yang paling utama adalah pria tersebut sudah cukup dewasa. Pada dasarnya terlaksananya perkawinan secara sempurna, kedua belah pihak harus sudah siap untuk menyelenggarakan pesta sehingga dapat dihindari terjadinya kekurangan biaya atau dalam ungkapan adat Tolaki disebut salabao.


Pesta adat pertunangan bagi masyarakat yang berdiam di nusantara merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang masih syarat dengan nilai sosial, kebersamaan dan nilai sejarah. Berbagai persiapan serta makna-makna kegiatan dilaksanakan dengan maksud untuk menyiapkan kedua pengantin siap memasuki bahtra rumah tangga.

Tradisi pertunangan dalam masarakat Tolaki sudah dilaksanakan secara berkesinambuangan dari satu generasi ke generasi seterusnya. Kini kehidupan terus mengalami kemajuan dengan segala bentuk perubahan yang kian menghampiri kehidupan anak jaman sekarang ini. Tapi dengan upaya pelestarian nilai-nilai kehidupan yang ada kiranya hal tersebut seharusnya tidak terkikis dan hilang seiring gilasan roda kebudayaan modern. sebagai jalan keluarnya, tingkat kepedulian dan perhatian kita semua harus lebih ditingkatkan terhadap adat dan budaya yang senantiasa memiliki kebermanfaatan yang luar biasa tersebut agar kita tetap menjadi bangsa yang besar dengan jatidiri yang tetap mengakar dari budaya masa lalu.

Kalo Sara dan Hukum Adat Tolaki

Tahukah “anda”? Apa yang dimaksud “Kalo Sara Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara? Pertanyaan “Spesifik” ini versi penulis Drs Basaula Tamburaka, hanya khusus, ditujukan kepada orang Tolaki pada umumnya, lebih khusus lagi, generasi muda.
Basaula dalam tulisannya beranggapan bahwa mereka belum paham tentang: apa, mengapa dan bagaimana kebudayaan Tolaki dalam hal, bentuk dan penggunaan Kalo. Seperti diketahui kebudayaan memiliki beberapa prinsip Kalo yang ada dalam masyarakat Tolaki. Ini perlu dipahami generasi muda Tolaki dan wajar untuk dilestarikan keberadaannya.
Adapun empat prinsip atau fungsi Kalo terdiri: 1. Kalo sebagai lambang Adat-Istiadat, 2. Kalo sebagai fokus Kebudayaan Tolaki, 3. Kalo sebagai pedoman hidup, 4. Kalo sebagai alat pemersatu dalam kehidupan orang Tolaki.
Inilah empat prinsip Kalo diwujudkan dalam bentuk ; Kalo sebagai benda, Kalo sebagai konsep, serta Kalo sebagai simbol yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari Tolaki. Untuk dipahami bahwa, dari sekian “ROH” atau isi Kalo, akan selalu muncul pertanyaan dikalangan masyarakat luas dewasa ini adalah, tentang bentuk dan penggunaan “fisik” Kalo. Serta penerapan “Hukum Adat Tolaki” disebut “O’SARA” digunakan khusus orang Tolaki, dimanapun mereka bermukim.
Pada kesempatan ini, Insya Allah penulis akan mengetengahkan atau tepatnya ingin “memperkenalkan” kebudayaan Tolaki secara deskripsi dan berseri (seri etnografi). Kali ini, diawali sebagaimana judul di atas, mendeskripsikan Kalo Sara sebagai sumber hukum Adat Tolaki yang diakui, ditaati, dijunjung, dan dihormati masyarakatnya sejak dahulu kala hingga hari ini. Juga akan disinggung dimana perbedaan sebutan To Laki dan To Mekongga.
Adapun yang mendorong penulis “membumikan” Kalo Sara kali ini bahwa, nampaknya orang Tolaki baik yang bermukim diperdesaan terutama di perkotaan, merasa tidak peduli lagi atau sama sekali kurang rasa hormatnya terhadap Adat-Istiadat Tolaki. Apakah mereka beranggapan bahwa, Adat-Istiadat Tolaki tergolong “Kuno ?” Sehingga enggan mempertahankan budaya dan kearifan lokal para leluhurnya ? Salah satu contoh, beberapa waktu lalu banyak kalangan tertentu menulis di media massa, termasuk di Harian Kendari Pos. Bahwa bahasa Daerah Tolaki dan karya budaya leluhur dalam bentuk aktifitas dan hasil karya (Artefak) mulai memudar atau akan hilang sama sekali?
Itulah maksud dan tujuan spesifik tulisan itu hadir di tengah-tengah masyarakat Tolaki, Ketika orang “terlena” membicarakan peradaban dan kemajuan zaman, muncul di siang “bolong”, untuk mengingatkan kepada generasi muda khususnya dan kepada semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas pelestarian Budaya Daerah Tolaki di Mekongga dan di Konawe. Yang dimaksud suku Tolaki disini adalah, salah satu suku bangsa dari sekian banyak etnis di Sultra. Menurut hasil penelitian, terdapat 30 suku atau etnis yang ada di Jazirah Celebes yang berbentuk huruf “K” pula Sulawesi itu. Mereka bermukim di “kaki” Tenggara Sulawesi, Provinsi berlambang kepala Anoa. Suku bangsa Tolaki ini, persebarannya di bekas Kerajaan Mekongga di Wundulako Kolaka dan sekitarnya. Bekas Kerajaan Konawe di Olo-Oloho Unaaha dan sekitarnya plus pulau Wawonii. Konon menurut catatan sejarah, dua bekas Kerajaan ini bersaudara kandung, yakni Raja/Ratu Wekoila dan Raja Larumbalangi.

Menurut tokoh masyarakat Tolaki “Arsamid Al Ashur” “Suku Tolaki adalah To Konawe, artinya orang Konawe berdialek bahasa Konawe dan To Mekongga, artinya orang Mekongga berdialek bahasa Mekongga berada di dua tempat terpisah.”
Selain itu pakar Antropologi ke 13 di Indonesia DR. A. Rauf Tarimana dalam bukunya “Kebudayaan Tolaki mengatakan, “Adapaun suku bangsa Tolaki adalah terdiri To Konawe dan To mekongga, yang disebut bahasa Konawe dan bahasa Mekongga, yang masing-masing merupakan dialek. Pemakai dan penerima “Bahasa” dari masing-masing dialek dapat saling mengerti satu sama lain, meskipun ada perbedan sedikit, baik dalam kata maupun lagu”.
Mengutip penulis bangsa Belanda H. Vander Kliff dalam catatan tentang bahasa Mekongga. “Bahwa orang Mekongga adalah orang (suku) Tolaki di Mekongga”. Artinya hanya memisahkan secara geografis dari dua buah bekas kerajaan di atas. Namun dalam Ensiklopedia Antropologi Indonesia tetap satu, yaitu Suku Bangsa Tolaki alias Suku Tolaki.
Ketika membicarakan kajian Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki cukup luas aspeknya, beda jika disebut “Kalo Sara” sebagaimana fokus tulisan ini. Pada uraian berikutnya akan terlihat benang merah antara sebutan “Kalo” dengan “Kalo Sara”. Apalagi ditampilkan dalam Karya tulis ilmiah populer ini. Mustahil dipaparkan atau diuraiakan terinci serta runut sesuai pedoman yang tertulis dalam masyarakat Tolaki. Apa pasal ? Karena fungsi media massa seperti Kendari Pos yang “rajin” mengangkat unsur Kebudayaan Daerah yang ada di Sultra, dimana halaman Koran ini amat terbatas. Namun. tidak menghilangkan subtansi dan filosofi yang terkandung dalam bentuk kearifan lokal terutama aturan-aturan khusus yang berlaku, telah menstradisi di bumi Landolaki tersebut.
Sebelum membahas substansi Kalo Sara sebagai “Urat Nadi” Hukum Adat Tolaki, yang selalu dihormati, dan dijunjung tinggi orang Tolaki. Terlebih dahulu dibahas “Kalo” dilihat secara harfiah atau arti Kalo sebagai benda. Apa saja bahan Kalo dibuat ? Kalo itu apa wadahnya ? Dimana yang membedakan sebutan Kalo An-Sich dengan sebutan “KALO SARA”?. Diakhiri tulisan, akan diuraikan siapa saja yang disebut “TOLEA” dan “PABITARA”? Dan apa fungsi dan peran kedua perangkat Adat ini ? Siapa yang berkompoten “menggelar” Kalo Sara ? Serta siapa sesungguhnya yang patut menerima suguhan “kebesaran” “KALO SARA”? (*)

Hukum Adat Perkawinan Tolaki

Bumi Nusantara ini, bagai Samrud mutu manikam membentuk formasi ribuan pulau besar kecil dan belasan kepulauan membentang dari Sabang sampai Merauke, yang dihuni sekitar 366 kelompok suku bangsa Indonesia (Jaswan 1959). Di antaranya 50 suku bangsa mendiami wilayah Celebes berbentuk huruf “K” bertengger dikaki Tenggara, salah satunya suku adalah bangsa “Laki” atau lasim disebut “Tolaki” yang bermukim di Provinsi berlambang kepala “Anoa” Sultra itu.
Suku Tolaki wilayah persebarannya meliputi hampir seluruh jazirah daratan Tenggara pulau Sulawesi yang dahulunya menjadi wilayah kerajaan Konawe yang berkedudukan di Olo-Oloho Unaaha, kerajaan Mekongga berkedudukan di Wundulako Kolaka. Atau sekarang ini, meliputi wilayah Pemerintahan Kabupaten Konawe, Konsel, Konut, dan Kota Kendari plus pulau Wawonii, serta wilayah Pemerintahan Kabupaten Kolaka dan Kolut. Demikian ditulis Drs Basaula Tambuaraka, seorang pemerhati Budaya Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Akan tetapi diantara 366 kelompok suku bangsa diatas, yang eksis menguasai Nusantara tercinta ini, menurut Hazairin (1977), hanya 250 etnis yang sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda hingga memasuki pemerintahan Indonesia merdeka yang diakui sebagai “ Masyarakat Hukum Adat” (Zelf Besturende dan Volks Gemenschappen), salah satunya adalah suku bangsa Tolaki dengan memiliki “ Masyarakat Hukum Adat Tolaki” yang jati diri disebut Adat “Kalosara”, sebagaimana diatur ketentuan isi menurut isi Permendagri No. 3 Tahun 1977.

Ketika berbicara masyarakat hukum Adat dalam kearipan lokal yang memiliki susunan asli dianggap daerah bersifat istimewa yang diakui sejak leluhur mereka serta di hormati oleh “ Pemiliknya” dengan berperannya “Lembaga Adat Sarano Tolaki” atau “LAST” yang salah satunya adalah berfungsi menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara Adat dan kebiasaan- kebiasaan seperti urusan perkawinan Adat Tolaki disebut Akibat Sanksi Hukum Adat.
Tulisan singkat membicarakan secara deskripsi hukum perkawinan Adat Tolaki, kemudian pengertian Kalo dan kedudukan Kalosara dalam perkawinan Tolaki, Prosedur dan tata cara menggelar acara upacara perkawinan, Serta membicarakan wanita yang pantang dan wanita yang ideal dijadikan sebagai calon istri, Terakhir menyinggung ketika diantara anggota masyarakat Tolaki “Melangkahi” Adat Perkawinan dalam hal ini wilayah “Mowindahako”.