Sabtu, 17 Maret 2012

Kalo Sara dan Hukum Adat Tolaki

Tahukah “anda”? Apa yang dimaksud “Kalo Sara Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara? Pertanyaan “Spesifik” ini versi penulis Drs Basaula Tamburaka, hanya khusus, ditujukan kepada orang Tolaki pada umumnya, lebih khusus lagi, generasi muda.
Basaula dalam tulisannya beranggapan bahwa mereka belum paham tentang: apa, mengapa dan bagaimana kebudayaan Tolaki dalam hal, bentuk dan penggunaan Kalo. Seperti diketahui kebudayaan memiliki beberapa prinsip Kalo yang ada dalam masyarakat Tolaki. Ini perlu dipahami generasi muda Tolaki dan wajar untuk dilestarikan keberadaannya.
Adapun empat prinsip atau fungsi Kalo terdiri: 1. Kalo sebagai lambang Adat-Istiadat, 2. Kalo sebagai fokus Kebudayaan Tolaki, 3. Kalo sebagai pedoman hidup, 4. Kalo sebagai alat pemersatu dalam kehidupan orang Tolaki.
Inilah empat prinsip Kalo diwujudkan dalam bentuk ; Kalo sebagai benda, Kalo sebagai konsep, serta Kalo sebagai simbol yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari Tolaki. Untuk dipahami bahwa, dari sekian “ROH” atau isi Kalo, akan selalu muncul pertanyaan dikalangan masyarakat luas dewasa ini adalah, tentang bentuk dan penggunaan “fisik” Kalo. Serta penerapan “Hukum Adat Tolaki” disebut “O’SARA” digunakan khusus orang Tolaki, dimanapun mereka bermukim.
Pada kesempatan ini, Insya Allah penulis akan mengetengahkan atau tepatnya ingin “memperkenalkan” kebudayaan Tolaki secara deskripsi dan berseri (seri etnografi). Kali ini, diawali sebagaimana judul di atas, mendeskripsikan Kalo Sara sebagai sumber hukum Adat Tolaki yang diakui, ditaati, dijunjung, dan dihormati masyarakatnya sejak dahulu kala hingga hari ini. Juga akan disinggung dimana perbedaan sebutan To Laki dan To Mekongga.
Adapun yang mendorong penulis “membumikan” Kalo Sara kali ini bahwa, nampaknya orang Tolaki baik yang bermukim diperdesaan terutama di perkotaan, merasa tidak peduli lagi atau sama sekali kurang rasa hormatnya terhadap Adat-Istiadat Tolaki. Apakah mereka beranggapan bahwa, Adat-Istiadat Tolaki tergolong “Kuno ?” Sehingga enggan mempertahankan budaya dan kearifan lokal para leluhurnya ? Salah satu contoh, beberapa waktu lalu banyak kalangan tertentu menulis di media massa, termasuk di Harian Kendari Pos. Bahwa bahasa Daerah Tolaki dan karya budaya leluhur dalam bentuk aktifitas dan hasil karya (Artefak) mulai memudar atau akan hilang sama sekali?
Itulah maksud dan tujuan spesifik tulisan itu hadir di tengah-tengah masyarakat Tolaki, Ketika orang “terlena” membicarakan peradaban dan kemajuan zaman, muncul di siang “bolong”, untuk mengingatkan kepada generasi muda khususnya dan kepada semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas pelestarian Budaya Daerah Tolaki di Mekongga dan di Konawe. Yang dimaksud suku Tolaki disini adalah, salah satu suku bangsa dari sekian banyak etnis di Sultra. Menurut hasil penelitian, terdapat 30 suku atau etnis yang ada di Jazirah Celebes yang berbentuk huruf “K” pula Sulawesi itu. Mereka bermukim di “kaki” Tenggara Sulawesi, Provinsi berlambang kepala Anoa. Suku bangsa Tolaki ini, persebarannya di bekas Kerajaan Mekongga di Wundulako Kolaka dan sekitarnya. Bekas Kerajaan Konawe di Olo-Oloho Unaaha dan sekitarnya plus pulau Wawonii. Konon menurut catatan sejarah, dua bekas Kerajaan ini bersaudara kandung, yakni Raja/Ratu Wekoila dan Raja Larumbalangi.

Menurut tokoh masyarakat Tolaki “Arsamid Al Ashur” “Suku Tolaki adalah To Konawe, artinya orang Konawe berdialek bahasa Konawe dan To Mekongga, artinya orang Mekongga berdialek bahasa Mekongga berada di dua tempat terpisah.”
Selain itu pakar Antropologi ke 13 di Indonesia DR. A. Rauf Tarimana dalam bukunya “Kebudayaan Tolaki mengatakan, “Adapaun suku bangsa Tolaki adalah terdiri To Konawe dan To mekongga, yang disebut bahasa Konawe dan bahasa Mekongga, yang masing-masing merupakan dialek. Pemakai dan penerima “Bahasa” dari masing-masing dialek dapat saling mengerti satu sama lain, meskipun ada perbedan sedikit, baik dalam kata maupun lagu”.
Mengutip penulis bangsa Belanda H. Vander Kliff dalam catatan tentang bahasa Mekongga. “Bahwa orang Mekongga adalah orang (suku) Tolaki di Mekongga”. Artinya hanya memisahkan secara geografis dari dua buah bekas kerajaan di atas. Namun dalam Ensiklopedia Antropologi Indonesia tetap satu, yaitu Suku Bangsa Tolaki alias Suku Tolaki.
Ketika membicarakan kajian Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki cukup luas aspeknya, beda jika disebut “Kalo Sara” sebagaimana fokus tulisan ini. Pada uraian berikutnya akan terlihat benang merah antara sebutan “Kalo” dengan “Kalo Sara”. Apalagi ditampilkan dalam Karya tulis ilmiah populer ini. Mustahil dipaparkan atau diuraiakan terinci serta runut sesuai pedoman yang tertulis dalam masyarakat Tolaki. Apa pasal ? Karena fungsi media massa seperti Kendari Pos yang “rajin” mengangkat unsur Kebudayaan Daerah yang ada di Sultra, dimana halaman Koran ini amat terbatas. Namun. tidak menghilangkan subtansi dan filosofi yang terkandung dalam bentuk kearifan lokal terutama aturan-aturan khusus yang berlaku, telah menstradisi di bumi Landolaki tersebut.
Sebelum membahas substansi Kalo Sara sebagai “Urat Nadi” Hukum Adat Tolaki, yang selalu dihormati, dan dijunjung tinggi orang Tolaki. Terlebih dahulu dibahas “Kalo” dilihat secara harfiah atau arti Kalo sebagai benda. Apa saja bahan Kalo dibuat ? Kalo itu apa wadahnya ? Dimana yang membedakan sebutan Kalo An-Sich dengan sebutan “KALO SARA”?. Diakhiri tulisan, akan diuraikan siapa saja yang disebut “TOLEA” dan “PABITARA”? Dan apa fungsi dan peran kedua perangkat Adat ini ? Siapa yang berkompoten “menggelar” Kalo Sara ? Serta siapa sesungguhnya yang patut menerima suguhan “kebesaran” “KALO SARA”? (*)

1 komentar: