Kamis, 29 Maret 2012

"Lestarikan Budaya Suku Tolaki"

Prosesi adat perkawinan selalu menarik perhatian untuk disaksikan. Salah satunya adalah adat perkawinan suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, yang diberi nama Mowindahako.
Tarian Mondotambe menyambut rombongan mempelai pria sebelum masuk ke kediaman mempelai wanita. Tarian itu adalah tarian penyambutan bagi tamu kehormatan.
Setelah melewati prosesi tarian Mondotambe, pihak mempelai pria membuka sebuah bentangan sarung. Sarung itu baru bisa dibuka setelah perwalian mempelai pria memberikan imbalan kepada pihak wanita.
Prosesi pernikahan atau Mowindahako pun dimulai dengan disiapkannya Salopa atau persembahan adat tambahan, seperti tempat sirih, pinang, tembakau dan beberapa sajian lain.
Ijab kabul pun masuk dalam prosesi pernikahan ini. Rangkaian prosesi selesai saat mempelai pria melakukan pembatalan wudhu. Akhir pesta ditutup dengan tari Lulo. Kedua mempelai dan undangan saling berpegangan tangan untuk mempererat tali persaudaraan.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, adat Mowindahako mulai ditinggalkan. Bahkan ada beberapa prosesi yang diganti, namun memiliki makna yang sama.


Sumber : Berita Lintas  http://News.mnctv.com

Selasa, 20 Maret 2012

Kota Lama Tempo Doe loe

Asal Foto : Kendari Over 1928 ( Drs M.Farid Thayeb )
Onia ( Rakit ) Alat Transportasi Tradisional
Koleksi Miseum
Asal Foto : Kendari Over 1928 ( Drs M.Farid Thayeb )

Sabtu, 17 Maret 2012

Pertunangan Dalam Adat Masyarakat Tolaki


Dalam perjalanan anak manusia di muka bumi, tatanan kehidupan masa lalu sepatutnya senantiasa menjadi pegangan yang akan menuntun pada tetap terpeliharanya tataran budaya yang mengakar turun termurun sejak jaman nenek moyang yang mendiami berbagai daerah yang ada di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara. Dalam mengemban kehidupan untuk beranak pinak dari satu generasi ke genarasi, tahap demi tahap kegiatan dijalani sebagai suatu nilai sakral yang tidak boleh dilewatkan begitu saja seperti dalam adat masyarakat Tolaki.

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara. Suku ini mendiami daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan konawe. Suku Tolaki adalah salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna. Asal kata Tolaki, dipercaya berasal dari TO=orang atau manusia, Laki= Jenis kelamin laki-laki, dan Tolaki sering dimaknai sebagai manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Menurut Tarimana (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan 1973 yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.

Dalam interaksi sosial, kehidupan bermasyarakat suku Tolaki terdapat nilai-nilai luhur yang dituangkan dalam keseharian mereka dan menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, adapun falsafah kebudayaan masyarakat Tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
1. Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat)
2. Budaya Kohanu (budaya malu)
3. Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan)

Tradisi perkawinan etnis Tolaki mensyaratkan adanya hubungan yang baik antara pihak laki-laki dan perempuan dalam menentukan arahan bagi masa depan kedua mempelai nantinya. Sebagai buktinya, nilai mahar yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan pada saat pertunangan dan perkawinan merupakan buah dari kesepakatan yang telah terlebih dahulu dirundingkan. Sebelum perkawinan, pemuda tersebut harus melayani dan menjalani masa percobaan dengan calon mertuanya, dan persyaratan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pihak laki-laki kepada perempuan sebagai bagain dari prosesi pertunangan.

Sebelum sampai pada masa perkawinan/pernikahan yang dalam adat masyarakt Tolaki disebut prosesi Mowindahako, terlebih dahulu dijalani berbagai prosesi, yang salah satu bagian terpenting adalah tahap pertunangan. Pertunangan yang berlaku di masing-masing daerah di Nusantara tentu saja memiliki keunikan tersendiri beserta tata cara yang beragam. Nilai keanekaragaman inilah yang senantiasa menambah kekhasan adat budaya yang ada di Indonesia.

Pada eksistensinya pertunangan pada adat masayarakat Tolaki, berlaku sejak lamaran diterima. Pada umunya pertunangan terjadi karena anak perempuan yang dimaksud belum dewasa, sehingga harus menunggu hingga dewasa. Itulah kenapa bagi masyarakat Tolaki mengenal dan kadang melaksanakan prosesi pertunangan untuk menunggu sampai salah satunya benar-benar dewasa.

Dalam adat masayarakat Tolaki pertunangan merupakan waktu dimana proses pembelajaran dan pelatihan bagi mempelai pria agar memiliki sikap kedewasaan adalah bagian yang benar-benar diutamakan, berbagai hal yang menyangkut kehidupan berkeluarga diberikan sebagai pembekalan supaya saat memasuki kehidupan keluarga baru nantinya, keduanya sudah benar-benar dewasa dalam menghadapi berbagai masalah dan lika-liku kehidupan berkeluarga. Jadi, masa pertunangan bagi calon suami perempuan merupakan kewajiban sebagai proses pembelajaran untuk dapat memeberikan nafkah lahiriah seperti makan dan lain-lain, sehingga mengabdi kepada orang tua perempuan selama masa pertunangan merupakan keharusan tersendiri agar dapat dinilai langsung oleh pihak perempuan sebelum menyerahkan anak gadis mereka. Salah satu contohnya dengan ikut bersama-sama membuka lahan pertanian atau pekebunan dimana proses pembelajaran dalam tahap pertunangan bagi calon mempelai pria akan berlangsung hingga setelah panen.

Masyarakat Tolaki umumnya merupakan peladang dan petani yang handal.Bagi orang Tolaki, padi-padian yang tumbuh di ladang menjadi makanan pokok, tetapi mereka juga menanam ubi jalar, tebu, aneka macam sayuran, tembakau, dan kopi.

Model pertunangan pada adat masyarakat Tolaki sedikitnya memiliki kemirifan dengan model pertunangan yang terdapat pada adat pertunangan suku muli yaitu adat paniwih. Perbedaannya adalah saat pertungan pada adat Tolaki ketika sudah cukup waktunya untuk menikah yang dikatakan oleh pihak perempuan, dengan kriteria sudah cukup dewasa bagi keduanya dan cukup beras untuk pesta makan, maka pernikahan akan segera dilaksanakan, hal ini dapat juga kita kaitkan dengan ungkapan klasik dari masrakat Tolaki yang mempunyai pandangan “bahwa lebih mudah menjaga 40 ekor kerbau daripada menjaga seorang anak gadis”. Tentunya ini merupakan hal yang telah diatur sedemikian rupa, disamping mengindahkan ungkapan tersebut.

Dalam menyelenggarakan prosesi pernikahan/perkawinan pada umumnya dapat dipercepat. Namun, diperlukan kesiapan pihak laki-laki dimana pihak perempuan akan memberikan kesempatan seluas-luanya untuk mempersiapkan persyaratan ataupun hasil kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya baik berkenaan dengan nilai mahar maupun penyelenggaraan pesta. Akan tetapi, syarat yang paling utama adalah pria tersebut sudah cukup dewasa. Pada dasarnya terlaksananya perkawinan secara sempurna, kedua belah pihak harus sudah siap untuk menyelenggarakan pesta sehingga dapat dihindari terjadinya kekurangan biaya atau dalam ungkapan adat Tolaki disebut salabao.


Pesta adat pertunangan bagi masyarakat yang berdiam di nusantara merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang masih syarat dengan nilai sosial, kebersamaan dan nilai sejarah. Berbagai persiapan serta makna-makna kegiatan dilaksanakan dengan maksud untuk menyiapkan kedua pengantin siap memasuki bahtra rumah tangga.

Tradisi pertunangan dalam masarakat Tolaki sudah dilaksanakan secara berkesinambuangan dari satu generasi ke generasi seterusnya. Kini kehidupan terus mengalami kemajuan dengan segala bentuk perubahan yang kian menghampiri kehidupan anak jaman sekarang ini. Tapi dengan upaya pelestarian nilai-nilai kehidupan yang ada kiranya hal tersebut seharusnya tidak terkikis dan hilang seiring gilasan roda kebudayaan modern. sebagai jalan keluarnya, tingkat kepedulian dan perhatian kita semua harus lebih ditingkatkan terhadap adat dan budaya yang senantiasa memiliki kebermanfaatan yang luar biasa tersebut agar kita tetap menjadi bangsa yang besar dengan jatidiri yang tetap mengakar dari budaya masa lalu.

Kalo Sara dan Hukum Adat Tolaki

Tahukah “anda”? Apa yang dimaksud “Kalo Sara Sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki di Sulawesi Tenggara? Pertanyaan “Spesifik” ini versi penulis Drs Basaula Tamburaka, hanya khusus, ditujukan kepada orang Tolaki pada umumnya, lebih khusus lagi, generasi muda.
Basaula dalam tulisannya beranggapan bahwa mereka belum paham tentang: apa, mengapa dan bagaimana kebudayaan Tolaki dalam hal, bentuk dan penggunaan Kalo. Seperti diketahui kebudayaan memiliki beberapa prinsip Kalo yang ada dalam masyarakat Tolaki. Ini perlu dipahami generasi muda Tolaki dan wajar untuk dilestarikan keberadaannya.
Adapun empat prinsip atau fungsi Kalo terdiri: 1. Kalo sebagai lambang Adat-Istiadat, 2. Kalo sebagai fokus Kebudayaan Tolaki, 3. Kalo sebagai pedoman hidup, 4. Kalo sebagai alat pemersatu dalam kehidupan orang Tolaki.
Inilah empat prinsip Kalo diwujudkan dalam bentuk ; Kalo sebagai benda, Kalo sebagai konsep, serta Kalo sebagai simbol yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari Tolaki. Untuk dipahami bahwa, dari sekian “ROH” atau isi Kalo, akan selalu muncul pertanyaan dikalangan masyarakat luas dewasa ini adalah, tentang bentuk dan penggunaan “fisik” Kalo. Serta penerapan “Hukum Adat Tolaki” disebut “O’SARA” digunakan khusus orang Tolaki, dimanapun mereka bermukim.
Pada kesempatan ini, Insya Allah penulis akan mengetengahkan atau tepatnya ingin “memperkenalkan” kebudayaan Tolaki secara deskripsi dan berseri (seri etnografi). Kali ini, diawali sebagaimana judul di atas, mendeskripsikan Kalo Sara sebagai sumber hukum Adat Tolaki yang diakui, ditaati, dijunjung, dan dihormati masyarakatnya sejak dahulu kala hingga hari ini. Juga akan disinggung dimana perbedaan sebutan To Laki dan To Mekongga.
Adapun yang mendorong penulis “membumikan” Kalo Sara kali ini bahwa, nampaknya orang Tolaki baik yang bermukim diperdesaan terutama di perkotaan, merasa tidak peduli lagi atau sama sekali kurang rasa hormatnya terhadap Adat-Istiadat Tolaki. Apakah mereka beranggapan bahwa, Adat-Istiadat Tolaki tergolong “Kuno ?” Sehingga enggan mempertahankan budaya dan kearifan lokal para leluhurnya ? Salah satu contoh, beberapa waktu lalu banyak kalangan tertentu menulis di media massa, termasuk di Harian Kendari Pos. Bahwa bahasa Daerah Tolaki dan karya budaya leluhur dalam bentuk aktifitas dan hasil karya (Artefak) mulai memudar atau akan hilang sama sekali?
Itulah maksud dan tujuan spesifik tulisan itu hadir di tengah-tengah masyarakat Tolaki, Ketika orang “terlena” membicarakan peradaban dan kemajuan zaman, muncul di siang “bolong”, untuk mengingatkan kepada generasi muda khususnya dan kepada semua pihak yang merasa bertanggung jawab atas pelestarian Budaya Daerah Tolaki di Mekongga dan di Konawe. Yang dimaksud suku Tolaki disini adalah, salah satu suku bangsa dari sekian banyak etnis di Sultra. Menurut hasil penelitian, terdapat 30 suku atau etnis yang ada di Jazirah Celebes yang berbentuk huruf “K” pula Sulawesi itu. Mereka bermukim di “kaki” Tenggara Sulawesi, Provinsi berlambang kepala Anoa. Suku bangsa Tolaki ini, persebarannya di bekas Kerajaan Mekongga di Wundulako Kolaka dan sekitarnya. Bekas Kerajaan Konawe di Olo-Oloho Unaaha dan sekitarnya plus pulau Wawonii. Konon menurut catatan sejarah, dua bekas Kerajaan ini bersaudara kandung, yakni Raja/Ratu Wekoila dan Raja Larumbalangi.

Menurut tokoh masyarakat Tolaki “Arsamid Al Ashur” “Suku Tolaki adalah To Konawe, artinya orang Konawe berdialek bahasa Konawe dan To Mekongga, artinya orang Mekongga berdialek bahasa Mekongga berada di dua tempat terpisah.”
Selain itu pakar Antropologi ke 13 di Indonesia DR. A. Rauf Tarimana dalam bukunya “Kebudayaan Tolaki mengatakan, “Adapaun suku bangsa Tolaki adalah terdiri To Konawe dan To mekongga, yang disebut bahasa Konawe dan bahasa Mekongga, yang masing-masing merupakan dialek. Pemakai dan penerima “Bahasa” dari masing-masing dialek dapat saling mengerti satu sama lain, meskipun ada perbedan sedikit, baik dalam kata maupun lagu”.
Mengutip penulis bangsa Belanda H. Vander Kliff dalam catatan tentang bahasa Mekongga. “Bahwa orang Mekongga adalah orang (suku) Tolaki di Mekongga”. Artinya hanya memisahkan secara geografis dari dua buah bekas kerajaan di atas. Namun dalam Ensiklopedia Antropologi Indonesia tetap satu, yaitu Suku Bangsa Tolaki alias Suku Tolaki.
Ketika membicarakan kajian Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki cukup luas aspeknya, beda jika disebut “Kalo Sara” sebagaimana fokus tulisan ini. Pada uraian berikutnya akan terlihat benang merah antara sebutan “Kalo” dengan “Kalo Sara”. Apalagi ditampilkan dalam Karya tulis ilmiah populer ini. Mustahil dipaparkan atau diuraiakan terinci serta runut sesuai pedoman yang tertulis dalam masyarakat Tolaki. Apa pasal ? Karena fungsi media massa seperti Kendari Pos yang “rajin” mengangkat unsur Kebudayaan Daerah yang ada di Sultra, dimana halaman Koran ini amat terbatas. Namun. tidak menghilangkan subtansi dan filosofi yang terkandung dalam bentuk kearifan lokal terutama aturan-aturan khusus yang berlaku, telah menstradisi di bumi Landolaki tersebut.
Sebelum membahas substansi Kalo Sara sebagai “Urat Nadi” Hukum Adat Tolaki, yang selalu dihormati, dan dijunjung tinggi orang Tolaki. Terlebih dahulu dibahas “Kalo” dilihat secara harfiah atau arti Kalo sebagai benda. Apa saja bahan Kalo dibuat ? Kalo itu apa wadahnya ? Dimana yang membedakan sebutan Kalo An-Sich dengan sebutan “KALO SARA”?. Diakhiri tulisan, akan diuraikan siapa saja yang disebut “TOLEA” dan “PABITARA”? Dan apa fungsi dan peran kedua perangkat Adat ini ? Siapa yang berkompoten “menggelar” Kalo Sara ? Serta siapa sesungguhnya yang patut menerima suguhan “kebesaran” “KALO SARA”? (*)

Hukum Adat Perkawinan Tolaki

Bumi Nusantara ini, bagai Samrud mutu manikam membentuk formasi ribuan pulau besar kecil dan belasan kepulauan membentang dari Sabang sampai Merauke, yang dihuni sekitar 366 kelompok suku bangsa Indonesia (Jaswan 1959). Di antaranya 50 suku bangsa mendiami wilayah Celebes berbentuk huruf “K” bertengger dikaki Tenggara, salah satunya suku adalah bangsa “Laki” atau lasim disebut “Tolaki” yang bermukim di Provinsi berlambang kepala “Anoa” Sultra itu.
Suku Tolaki wilayah persebarannya meliputi hampir seluruh jazirah daratan Tenggara pulau Sulawesi yang dahulunya menjadi wilayah kerajaan Konawe yang berkedudukan di Olo-Oloho Unaaha, kerajaan Mekongga berkedudukan di Wundulako Kolaka. Atau sekarang ini, meliputi wilayah Pemerintahan Kabupaten Konawe, Konsel, Konut, dan Kota Kendari plus pulau Wawonii, serta wilayah Pemerintahan Kabupaten Kolaka dan Kolut. Demikian ditulis Drs Basaula Tambuaraka, seorang pemerhati Budaya Tolaki di Sulawesi Tenggara.
Akan tetapi diantara 366 kelompok suku bangsa diatas, yang eksis menguasai Nusantara tercinta ini, menurut Hazairin (1977), hanya 250 etnis yang sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda hingga memasuki pemerintahan Indonesia merdeka yang diakui sebagai “ Masyarakat Hukum Adat” (Zelf Besturende dan Volks Gemenschappen), salah satunya adalah suku bangsa Tolaki dengan memiliki “ Masyarakat Hukum Adat Tolaki” yang jati diri disebut Adat “Kalosara”, sebagaimana diatur ketentuan isi menurut isi Permendagri No. 3 Tahun 1977.

Ketika berbicara masyarakat hukum Adat dalam kearipan lokal yang memiliki susunan asli dianggap daerah bersifat istimewa yang diakui sejak leluhur mereka serta di hormati oleh “ Pemiliknya” dengan berperannya “Lembaga Adat Sarano Tolaki” atau “LAST” yang salah satunya adalah berfungsi menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara Adat dan kebiasaan- kebiasaan seperti urusan perkawinan Adat Tolaki disebut Akibat Sanksi Hukum Adat.
Tulisan singkat membicarakan secara deskripsi hukum perkawinan Adat Tolaki, kemudian pengertian Kalo dan kedudukan Kalosara dalam perkawinan Tolaki, Prosedur dan tata cara menggelar acara upacara perkawinan, Serta membicarakan wanita yang pantang dan wanita yang ideal dijadikan sebagai calon istri, Terakhir menyinggung ketika diantara anggota masyarakat Tolaki “Melangkahi” Adat Perkawinan dalam hal ini wilayah “Mowindahako”.

Rekonsiliasi dalam Budaya Tolaki, Sulawesi Tenggara

Pendahuluan

Semenanjung Sulawesi Tenggara didiami oleh dua suku asli, yaitu suku Mekongga (Kolaka) dan suku Tolaki (Kendari). Kedua suku ini memiliki persamaan dari segi budaya maupun bahasa yang dipakai sehari-hari. Selain persamaan-persamaan tersebut kedua suku ini juga memiliki simbol adat yang sama yakni "KALO.‘ Kalo terbuat dari rotan dan dibuat secara melingkar. Kalo merupakan simbol persatuan dan kesatuan. Biasanya, masyarakat Mekongga dan Tolaki jika terjadi suatu masalah sosial yang memerlukan penyelesaian, maka mereka akan kembali pada makna Kalo.

Kalo bermakna ketulusan, kesucian, dan keterbukaan dalam menerima setiap perbedaan yang ada, sehingga makna yang terkandung di dalamnya merupakan tauladan yang patut diikuti untuk menciptakan perdamaian antarsesama umat beragama yang berbeda keyakinan.

Mempelajari simbol-simbol adat setiap suku, dalam hal ini simbol suku Tolaki-Mekongga (Kalo), dapat membawa suatu pola pemikiran baru yang dapat memberikan kita jalan keluar dari konflik-konflik sosial yang selama ini terjadi akibat kesalahpahaman dalam menanggapi perbedaan yang ada. Kalo adalah simbol adat yang bermakna keterbukaan untuk menerima perbedaan dan menjalin perbedaan menjadi suatu ikatan yang kuat dalam suasana persaudaraan. Makna Kalo yang demikian dapat dijadikan landasan berpikir dalam menciptakan rekonsiliasi antarbudaya dan antaragama di Indonesia.

A. Kalo

Setelah membaca pendahuluan di atas, maka kita dapat melihat bahwa salah satu wujud dari adat istiadat suku Tolaki-Mekongga yang hingga saat ini masih mempengaruhi cara perpikir, bersikap dan bertingkah laku mereka sehari-hari --salah satu dasar dalam menciptakan rekonsiliasi-- adalah Kalo. Kalo adalah suatu benda suku Tolaki-Mekongga yang dijadikan simbol tertinggi untuk menciptakan suasana harmonis antara dua pihak atau beberapa pihak yang ingin berkomunikasi dalam suatu urusan. Misalnya urusan menyangkut perkawinan, peminangan, kekeluargaan dan perdamaian.

Sebenarnya Kalo adalah sebuah benda berupa lingkaran rotan pilihan berwarna kuning berpelin tiga dan kedua ujungnya disimpul. Ia merupakan simbolisasi dari berbagai unsur meliputi keluarga inti dan adat dalam kehidupan rumah tangga itu sendiri sebagai media pengikat hubungan keluarga inti secara timbal-balik. Keluarga Inti yang dimaksud di sini terdiri atas: ayah, ibu dan anak. Penggunaan Kalo biasanya bersama dengan sehelai kain putih sebagai alas dan talam persegi empat yang terbuat dari Anyaman daun palam hutan. Kain putih merupakan simbol adat dalam kehidupan berumah tangga. Sedangkan rumah tangga itu sendiri disimbolkan oleh wadah anyaman tempat meletakkan lingkaran rotan yang berpilin tiga tersebut.

Kalo juga adalah simbol dari unsur-unsur keluarga luas, adat dalam kehidupan komuniti keluarga luas dan pola komuniti itu sendiri yang saling berkait secara timbal balik.

Selain itu dalam berbagai Aspek kehidupan suku Tolaki-Mekonga, Kalo juga selalu digunakan sebagai simbol yang mencakup unsur-unsur masyarakat dan nilai budaya. Hal ini terlihat dalam beberapa kebiasaan di mana Kalo selalu digunakan –misalnya-- untuk mengikat tiang rumah bagian tengah yang selalu diikat dengan rotan. Hal ini juga dapat dilihat pada model semua jenis jerat penangkap hewan liar dan unggas yang bahan asalnya dari rotan/akar yang selalu mengacu pada bentuk Kalo.

B. Makna Kalo

Kalo adalah simbol bagi suku Tolaki-Mekongga dalam memandang kehidupan. Kalo yang terbuat dari pilinan tiga rotan pilihan yang berwarna kuning itu mengandung beragam makna bagi suku Tolaki-Mekongga. Adapun makna/pengertian dari Kalo tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk Kalo yang bulat melingkar melambangkan kesatuan rohani dan jasmani dari unsur manusia yang utuh.
  2. Pilinan rotan yang terdiri dari tiga jalur jalinan dengan satu ikatan simpul di kedua ujung dari rotan tersebut melambangkan keharusan untuk bersatu antara Tuhan dengan unsur penguasa dunia atau pemerintah dengan unsur orang banyak/rakyat.
  3. Sehelai kain putih yang menjadi alas pertama dari Kalo tersebut melambangkan kesucian, ketentraman, kesejahteraan dan kemakmuran.
  4. Talam persegi empat yang terbuat dari anyaman daun palam hutan sebagai alas paling bawah dari Kalo melambangkan unsur-unsur kesucian terhadap air dan tempat sumber mata angin yang memberi kehidupan dan kesegaran rohani serta jasmani kepada setiap manusia.

Kalo itu sendiri apabila diletakkan bersamaan dengan aksesorisnya dalam sebuah upacara adat (Kalo sara), selain sebagai kelengkapan upacara juga menunjukkan pandangan suku Tolaki-Mekongga mengenai manusia dan alam semesta sebagai sistem nilai budaya. Selain itu juga bermakna keseluruhan hal terkait norma-norma, sistem hukum dan aturan-aturan khusus yang berlaku.

Bagi suku Tolaki-Mekongga, Kalo juga adalah simbol dari tiga komponen stratifikasi sosial. Golongan Bangsawan disimbolkan dengan lingkaran rotan, golongan orang kebanyakan disimbolkan dengan kain putih dan golongan budak disimbolkan dengan wadah anyaman. Lingkaran rotan yang diletakkan pada posisi di atas dari kain putih dan wadah anyaman menunjukkan bahwa golongan bangsawan itu adalah pemerintah dan penguasa yang harus melindungi golongan orang kebanyakan dan golongan budak. Kain putih yang diletakkan pada posisi di bawah dari lingkaran rotan dan di atas wadah menunjukkan bahwa golongan orang kebanyakan/pemangku adat itu adalah pendukung golongan bangsawan dan pembela dari golongan budak/rakyat jelata. Sedangkan wadah anyaman yang diletakkan di bawah kain putih dan lingkaran rotan menunjukkan bahwa golongan budak atau rakyat jeata itu adalah pendukung golongan pemangku adat dan pemuja golongan bangsawan.

Dalam hubungannya dengan kosmologi dan sistem keagamaan orang Tolaki-Mekongga, Kalo mengandung tiga hal, yaitu Kalo sebagai simbol yang mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta serta isinya, baik alam nyata maupun alam gaib, bentuk tubuh manusia dan susunannya; dan Kalo dalam upacara adat merujuk pada pandangan orang Tolaki-Mekongga bahwa Kalo itu adalah benda keramat (sacred). Lingkaran rotan adalah simbol dunia atas, kain putih adalah simbol dunia tengah dan wadah anyaman adalah simbol dunia bawah. Kadang-kadang juga ada yang mengatakan bawah lingkaran rotan itu adalah simbol matahari, bulan dan bintang-bintang; Kain putih adalah langit dan wadah anyaman adalah simbol permukaan bumi. Mereka juga mengekspresikan bahwa lingkaran rotan adalah simbol SANGIA MBU‘U (Dewa tertinggi/Allah Taala), SANGIA I LOSOANO OLEO (Dewa di Timur) dan SANGIA I TEPULIANO WANUA (Dewa penguasa kehidupan di bumi). Sedangkan wadah anyaman adalah simbol SANGIA I PURI WUTA (Dewa di dasar bumi). Kalo juga adalah simbol manusia. Lingkaran rotan adalah simbol kepala manusia, kain putih adalah simbol badan dan wadah anyaman adalah simbol tangan dan kaki (anggota badan).

Dalam upacara adat Kalo juga sangat berperan. Tanpa Kalo suatu upacara tidak berlangsung karena Kalo adalah inti upacara. Kalo disini mengekspresikan unsur-unsur upacara yang bersifat timbal balik dan menggambarkan maksud dan tujuan dari diadakannya sebuah upacara. Bentuknya yang melingkar sebagai lambang persatuan dan kesatuan, melalui Atribut kain putih sebagai lambang kesucian dan ketentraman dan melalui atribut wadah anyamannya yang terbuat dari tangkai daun palam sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan.

Bagi orang Tolaki-Mekongga, Kalo juga adalah suatu benda keramat yang merupakan representasi dari nenek moyang mereka. Bagi orang Tolaki-Mekongga menghargai, mensucikan dan mengkeramatkan Kalo, berarti mentaati ajaran nenek moyang. Hal itu berarti berkah bagi kehidupan mereka. Dan sebaliknya bila tidak menghargai dan mensucikan Kalo berarti kualat, durhaka yang akan menimpa mereka.

C. Makna Kalo bagi Rekonsiliasi.

Dalam masyarakat Indonesia pada saat ini dapat dikatakan bahwa kemajemukan adalah suatu tantangan yang besar. Perbedaan suku, ras, golongan dan agama sering menjadi pemicu pertikaian, walaupun hal itu pada hakekatnya bukanlah inti dari sumber pertikaian yang terjadi. Kesalahpahaman karena kurangnya wawasan terhadap apa yang menjadi keyakinan agama lain, membuat setiap agama hidup dalam kefanatikan yang berujung malapetaka bagi dirinya secara khusus dan bagi bangsa dan negara secara umum. Untuk menepis terjadinya hal-hal yang kurang bermoral tersebut, sangat diperlukan adanya rekonsiliasi agar timbul saling pengertian dari kehidupan yang penuh toleransi antara satu agama dengan agama yang lain.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa bagian di atas, di mana disebutkan tentang Kalo yang merupakan lambang adat suku Tolaki-Mekongga yang mengekspresikan persatuan dan kesatuan dari seluruh realitas, baik jasmani maupun rohani. Kalo menggambarkan adanya kesatuan yang dinamis diantara beberapa perbedaan, baik dalam hal pemikiran, perbuatan dan perasaan. Pilinan tiga rotan yang dibuat melingkar yang disebut Kalo adalah bermakna persatuan dan kesatuan dalam persaudaraan yang sejati. Seorang yang datang kepada orang lain dengan maksud mengadakan hubungan baik, jika ia membawa Kalo maka ia akan diterima sebagai saudara meskipun orang itu adalah musuh besarnya. Dalam adat istiadat suku Tolaki-Mekonga, rekonsiliasi dapat terjadi dengan mudah jika seseorang yang menginginkan perdamaian datang dan membawa Kalo sebagai bukti kesediaan berdamai dengan segala ketulusan. Dalam hal ini, seorang yang dengan sukarela membawa Kalo adalah seorang yang membuang segala bentuk keegoisan demi tercapainya kehidupan yang damai dan akrab.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kalo tidaklah hanya sekedar lambang adat biasa, tetapi lebih dari itu Kalo mempunyai makna yang sangat mendalam bagi kehidupan umat manusia dalam dunia yang telah diciptakan Allah untuk menjalin kehidupan dalam suasana persaudaraan dan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Jika kita berbicara soal rekonsiliasi di mana di dalamnya terdapat tujuan untuk mencapai suatu bentuk saling memahami setiap perbedaan, maka makna Kalo sangat besar untuk itu. Hal ini dapat dikatakan demikian karena konsep perdamaian, persatuan, dan kesatuan bukanlah suatu konsep yang kurang memperhatikan perbedaan yang ada, karena Kalo adalah lambang pemersatu yang harus disertai dengan ketulusan/kesucian hati untuk hidup bersahabat dalam kepelbagaian. Dalam konsep tersebut perbedaan bukanlah suatu halangan untuk hidup bersama jika setiap orang menyadari bahwa dalam kepelbagaian dan dalam perbedaan semua manusia hidup dalam satu lingkaran persaudaraan yang terjalin dan tersimpul dengan kuat seperti Kalo yang melingkar dan tersimpul dengan kuat.

Kesimpulan

Kalo sebagai lambang kesatuan/persatuan suku Tolaki-Mekonga adalah lambang persaudaraan yang diiringi oleh ketulusan tanpa keegoisan untuk hidup dalam suatu situasi yang dinamis, di mana setiap orang dalam berbagai perbedaan suku, ras dan agama hidup dalam satu lingkaran yang terjalin dan tersimpul dengan kuat. Dan tentunya hal ini harus dipahami sebagai bentuk persaudaraan yang tidak mudah lepas hanya karena adanya perbedaan pemikiran yang berakibat timbulnya kesalahpahaman atau bahkan yang lebih parah dari itu, yakni timbulnya pertikaian. Rekonsiliasi akan dapat terjadi dan mencapai tujuan jika setiap orang mampu untuk menghilangkan keegoisan dan kefanatikan yang kurang berdasar.


Oleh : Wellem W. Patasik

Suku Tolaki

Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara.mendiami daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan Konawe. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam bentuk kebudayaan memakan sagu (sinonggi/papeda), yang hingga kini belum dibudidayakan atau dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari

Baju Adat Tolaki Oleh Zaiful Muli

Ayo Pemuda TOLAKI Saatnya kita mempertahankan dan melestarikan Budaya kita di tengah Akilturasi Budaya Dunia.......


Salam Mepokoaso....!!